Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
Entri Populer
- 
Cara Pembuatan Tape Ubi Kayu Aneka bahan pangan yang mengandung karbohidrat dapat diolah menjadi makanan khas yang disebut tape. Bahan p...
- 
Asal - usul Kota Indramayu Indramayu - Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen Jawa Tengah bernama Raden Wiralodra yang ...
- 
Tutorial singkat ini cocok sekali buat Anda yang sedang membuat jaringan komputer ‘MURAH’ khususnya yang terdiri lebih dari dua client yang ...
- 
CERPEN "KASIH SAYANG SEORANG IBU" Kasih Sayang seorang Ibu Ibu adalah sosok wanita yang tegar dan tidak mengenal le...
- 
Uh, hari ini mulai lagi… kenapa harus masuk sekolah lagi sich….!!!” Kataku saat hari senin yg indah ini harus memulai pekerjaan sebagai pe...
- 
KEMITRAAN BISNIS JAMUR TIRAM Caranya, ia menyediakan kumbung serta baglog, juga membantu dalam pemasaran jamur tiram yang diproduksi oleh ...
- 
ufhh,, pastinya kamu bakal sakit hati banget ya klo kamu sampai ngalamin ini.. 1.) BERKHIANAT Di mana pun, pengkhianatan nggak bakal berda...
- 
LAPORAN PRAKERIN SISTEM GANDA PERANGKAT KERAS (Hadware) Dan PERANGKAT LUNAK ...
- 
Jenis - Jenis Antena (Omni, Parabolik, Grid, Sectoral) Sebelum anda membaca article lebih lanjut... ...
- 
info-1: ASAL USUL KOTA INDRAMAYU : "Asal - usul Kota Indramayu Indramayu - Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen J...
Senin, 28 Februari 2011
menunggu pelangi
“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!”  teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar  air hujan yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih!  Lagian kalo disitu nanti kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi  dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “ Mana Ngi pelanginya?” tanyaku  penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku pertama kali melihat  pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku,  Pelangi.                          Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku  sudah duduk di bangku kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia  balap. Piala dan penghargaan prestasiku di dunia balap juga ga dikit  lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku bersama sahabatku  Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama – sama  dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada  hujan.                          Hari ini, begitu indah untuk seluruh  keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah masa  kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga  terlihat senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus  paling manja dan cerewet ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku.  Mama juga memasakkan makanan kesukaan semua anggota keluarga hari  ini.                          Tak lama, rintik – rintik hujan mulai  berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah  membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah  volume air di habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan  tetesan air membasahi permukaan daun mereka.     Teringat kembali aku  akan si Pelangi. Dia masih satu kampus denganku. Ku angkat telepon  genggamku yang ada di atas sofa yang sedang kududuki sekarang ini. Aku  mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah kutemukan,  kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain.  Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai  berbincang dengan Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat  pelangi di angkasa sebelum hujan reda.                            “ Hayo  kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba – tiba suara si Hugo  menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera kutarik  kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih  kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak  Pelangi dulu. Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada  adik laki – lakiku yang rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak  dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo nyengar – nyengir ga karuan. Oke  deh, aku kasih dia uang jajan.                            “ Hai! Udah  lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu  beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan  lembut. “ Oh. Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “  Nggakpapa To. Santai aja deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi  langsung menunjuk ke langit yang sedang menurunkan air saat itu. Kami  berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku taman yang kami duduki  terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah saat  ini.                           Sungguh romantis situasinya. Sempurna  sekali dengan rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku  merentangkan tanganku ke pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera  memandang wajahku. Dengan lirih aku menanyakan hal yang sangat sulit  untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi. L, lo, lo mau ga…”  aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi menjawab  tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue  mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi..  jadi.. pa..” aku ga bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna.  “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara pada diriku sendiri dalam  hati.                             Mobil Avanza berwarna silver  menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh  kakak gue udah jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru  Pelangi bergegas menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..”  aku menjawab seruan pelangi dengan kecewa karena aku ga bisa  mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku ungkapkan. Apa lagi, dia  memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia??                          Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang  menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN  atau pasnya genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di  penjuru kampus sekaligus rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab  setiap pertanyaan yang diajukan Pak Fardi yang adalah sang Master dari  Matematika.                          Istirahat, aku menemui Pelangi  duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan  Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku  menarik tangan Pelangi ke depan pintu  kantin.                              Dag dig dug makin terasa. Makin  keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku  berhasil dengan lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu  jawaban. Kutatap matanya, ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang  kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh. Tapi kita harus serius dan ga  main-main oke?” Jelas saja kubalas  “PASTI!!!”.                              Diriku serasa melayang bebas ke  udara. Lalu kutemui bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan  disaksikan oleh keluarga dan sobat-sobatku disana. Siapa lagi  bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget jalan berdua.  Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama.                               Setelah gossip jadiannya aku sama Pelangi  tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia pasti bakal  ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi  anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa  ketakutan sekali. Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu  adalah juara boxing antar kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku  hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico menjulurkan tangannya. Aku  memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi kepalaku dengan  lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi  duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget  ada orang yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng  deh.                               Besoknya, aku berangkat ke kampus  kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi juga  memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan  berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’  dan sekarang kugunakan untuk menghias kunci sepeda  motorku.                               Pulangnya aku dikabarkan dengan  kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah sakit!  Mengapa? Aku juga ga  tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu  kalau ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes  menuju rumah sakit.                               Aku melihat mama, Tami  dan Hugo terduduk lemas di ruang tunggu. Aku segera menghampiri mama. “  Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi  To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak muncul.”                                 Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah  adikku Tami. Tami memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan  berusaha menahan tangis. Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya  di dadaku. Kupeluk erat badan mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku  benar -  benar dipenuhi haru hari ini,                                Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di pojok otakku  memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu  lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang  dan bahagia. Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah  memberikan oleh – olehnya pada kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika  bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa berbeda sekali dengan hari  ini.                                “Tito!!” panggil mama dan  menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi  kertas berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini  banyak, Ma?” aku bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya  pertanda kata – kata “ IYA”                            Gimana cara  mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku lebih kacau dan makin  stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya ampun! Apa  ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku harus  merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi  yang kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi  bisa mengingatku di sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak  mengingkari belasan janjinya padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan  kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan caraku mendapatkan uang untuk  perawatan ayah. Tapi dimana?                                 Oh iya! Ada  Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke  rumah Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di  depan rumahnya sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang  beberapa lama.     “Kamu butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya  sambil bersiap mengambil dompet kulit dari saku celananya. “Segini  Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat di rumah sakit. “  Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa seperempatnya  aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku  sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku  raih uang itu. Aku mengucapkan terimakasih.                                  “ Ehm, paman. Cari sisanya dimana yah?  Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah jarang  banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih  Paman? Ngga ada sama sekali?”  tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “  Ada sih satu. Paman kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede  juga” jawab paman sekali lagi. “Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir  panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.” Ujar Paman. “Hah? Bali?  Balap Liar paman?” tanyaku dengan  heran. “Iya. Kamu tau kan  konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”                               Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan  Hugo, tak ada yang menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang  menyemangatiku saat itu. “ Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual,  biar mama jual daripada kamu ikut balapan kaya gitu.” Mama melarangku. “  Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu buat bayar  biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di  bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku  akan tetap mengikuti balap ini.                             Hari yang  kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku di atas motor balapku ini. Tak  lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku. Para cewek –  cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera  melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha  menyalipnya. Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku  masih di urutan dua. Joe mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau  kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku dengan Joe hanya beberapa cm!  Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di depanku. Mataku mulai  jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan Joe.  Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya,  ya.. YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish.      Paman Heru berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki  dan memberi tepuk tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan.  Tapi, polisi! Polisi! Polisi! Penonton berlarian kesana kemari. Para  pembalap lain melaju kencang tak berarah. Paman Heru berteriak padaku  “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap polisi!!!” “Lhoh  kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku  membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa  ya????!!!!!!”                                 Jregg. Oh iya!! Aku baru  teringat. Kutancap gasku. Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka  segerombolan cewek centil berlari dengan histeris di depanku. Aku rem  motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang melebihi  normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari  motorku!                                 Kaki kiriku tertindih body  motorku. Sebelum kubebaskan kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci  dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil membebaskan kakiku!  Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.                                    Belum aku berdiri dari jatuhku,  seorang pembalap dengan motor besarnya segera melindas kedua kakiku  dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku mengerang kesakitan. Benar –  benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik saat Pelangi  pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar Paman  Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku  sudah mati ya. Ternyata  aku sudah  mati.                                  Perlahan – lahan aku membuka  mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku.  Tami dan Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang  terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah  sakit?                              Aku bangun dari tidurku. Kulihat  anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana kedua kakiku?  Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya aku  menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya.  Ah! Tapi nasi telah menjadi bubur. Apa daya??                             “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi dating kesini lho.” Kata Tami saat  aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus? Kak Pelangi bilang  apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku. “Enggak  bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.”  Jelas Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm,  enggak kok.” Jawab Tami ragu. “oh. Ya udah deh”.                             Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat pada Pelangi. Soalnya dia  pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat pelangi  sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah  sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo  tertidur di atas sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang.                              Namun aku sangat menyesal menunggunya sejak aku melihat  surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami bercerita  padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu  berisi :  “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling  gue  sayang. To, gue minta maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi  sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di sini gue udah ketemu ama cowok  yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip gantungan kuncinya  ya. Rawat yang baik oke?”       Itupun belum semua. Yang paling membuat  aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari  suratnya. Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo”                             Kini kusadari, pelangi hanya terbentuk dari pembiasan  yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu cahaya putih menjadi bermacam –  macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan bila tak ada air dan  cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari dunia.       Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang  kuimpikan namun tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna  dan ceria. Tapi hiburan itu hanya sementara untukku dan bila tidak ada  diriku yang utuh seperti dulu, ia mengingkari janjinya dan berpaling.
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar